RSS Feed

Curhat SahabatKu

Posted by @lee Read One Labels:

REN.....

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tidak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadiakannya tiada”
(Sapardi Djoko Damono).

Butiran bening itu mengalir dari kedua matanya yang sayu tatkala ia menorehkan tinta untuk menulis puisi Sapardi Djoko

Damono. Zal hanya mampu menuliskan kenangan-kenangan pahit yang terjadi dalam hidupnya pada sebuah buku kecil yang ia anggap sebagai sahabat. Ia melakukan hal tersebut tidak lain hanyalah sebagai luapan isi hatinya yang sedang carut marut . Ia merasa

tidak pantas sebagai seorang laki-laki jika harus menceritakan segala isi hatinya kepada sahabat-sahabatnya di kelas.

Puisi Sapardi Djoko Damono telah menjelma sebagai teman setia bagi Zal. Untaian kata-kata penuh perasaan itu tidak pernah sekalipun luput dari ingatannya saat Zal berhadapan dengan buku mungil itu. “Mengapa kau tak juga mengerti Ton!, Aku diam bukan karna aku membencimu, aku hanya malu untuk mengakui kalau kau telah membuatku jatuh hati!”.

“Sampai kapan Tuhan, sampai kapan aku harus memendam perasaan yang tiap detik selalu bergejolak menghempas kesabaranku ini!.

Sederet kalimat telah terukir dengan tinta yang ada dalam genggaman Zal.

Siang itu matahari begitu teriknya. Asap kendaraan, debu, suara mesin-mesin yang memekakkan telinga bercampur, melebur dan membaur. Suasana hati Zal semakin kacau. Soal-soal UNAS yang ada dihadapannya tidak juga ia sentuh. Sesekali ia menatap sesosok tubuh yang duduk di samping bangku ujiannya, kemudian Zah menghela napas panjang. “Ren, adakah sedikit saja bayanganku dalam anganmu?, Seolah Zal bertanya pada dirinya sendiri. Sedangkan sosok gadis yang ia maksud sedikitpun tak bergeming.

Bel berdering tiga kali, pertanda waktu untuk menjawab soal-soal UNAS telah usai. Zal sengaja tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Ia menunggu Rena membereskan segala peralatan ujiannya. “Ren, kamu…! Tiba-tiba suara Zal terpotong.

“Zal, tumben kamu sudi menegurku?. Ren seolah tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Dengan keringat dingin dan wajah beku, Zal berusaha melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti. “Aku mau menanyakan sesuatu, tapi aku…!”

“Kenapa? Aku akan sangat senang jika aku bisa menjawab pertanyaan dari orang terhebat di sekolah ini”. Ren terlihat gugup saat melontarkan kalimat tersebut.
“Kamu sangat membenciku Ren?”
“Bukannya kamu yang selama ini sangat anti padaku?”. Balas Ren dengan dingin.
“Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, aku…
“Sudahlah Zal, aku tidak ingin teman-temanmu nanti menjadikan aku bahan ejekan dan tertawaan lagi!. Sudah cukup Zal, peristiwa saat kita kelas dua dulu telah mampu menjadikan kamu dan teman-temanmu melayang diatas tangis batinku!. Rena sedikit emosi.
“Sebenarnya aku….
“Sudahlah Zal, aku mau pulang. Jika tujuanmu menegurku kali ini hanya untuk menyakitiku lagi, maaf, simpan saja.”
“Ren., aku mohon dengarkan aku! Ren…

Dengan wajah dingin Ren meninggalkan Zal yang masih berdiri sambil memanggil namanya. Tanpa disadarinya, air mata yang dari tadi berusaha ia bendung akhirnya berjatuhan membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
“Maafkan aku Zal, aku tidak ingin kau menyakiti hatiku lagi.

Aku memang tidak secerdas kamu, aku memang bukan anak orang berkelas dan bukan anak orang terhormat seperti teman-temanmu”,

Ren bergumam lirih sambil mengeluarkan sepeda pancalnya dari tempat penitipan sepeda di sekolahnya. “Tapi meski aku miskin, aku masih punya hati, kau dan teman-temanmu tidak berhak mencemooh dan menghina aku serta orang tuaku”, Ren semakin terisak saat ia mulai menaiki sepedanya.

Dengan perasaan yang tidak menentu, akhirnya Zal meninggalkan ruang ujiannya. “Tuhan, tolong beri aku kesempatan untuk mendapatkan maaf dari orang yang pernah aku dzolimi”.
“Maafkan aku Ren, semoga kau sudi memberikan maafmu untukku”.

“Aku tidak ingin meninggalkan jejak-jejak hitam dalam kehidupanku”.

Aku lelah bertanya kenapa, dan tidak punya kekuatan lebih untuk menduga mengapa. Aku merasa semua darimu penuh rahasia, begitu jauh, begitu tak terjangkau.
Ada kalanya hangat hatimu membuatku nyaman, dan sinar matamu mampu timbulkan rona di jiwaku, tapi lalu kau menarik dirimu, tapi lalu kau menjauh dariku.Aku telah bertanya mengapa,
Mengapa aku tidak bias mengerti logika dalam kepalaku.
Mengapa sulit bagiku untuk meraba hatimu Karena kini jelas untukku, tidak ada logika dalam cintaku padamu Tidak ada ruang lagi untuk mundur, aku telah memahami seutuhnya tentang hatiku Dan jika kau belum mengerti apa yang hatiku sampaikan, maka apa yang harus aku lakukan dengan cintaku...

Zal kembali menggoreskan tinta hitamnya dalam buku mungil yang telah menjadi sahabat sejatinya. Ia menumpahkan segala gejolak hati yang membuncah lewat puisi-puisi. Zal sangat senang dengan segala bentuk tulisan-tulisan mengenai perasaan. Denting jam diruang tamu telah terdengar sepuluh kali. Ia terkesiap. Tidak terasa ia telah duduk selama empat jam. Ia baru tersadar jika besok adalah UNAS terakhir. Sama sekali ia belum membuka buku-buku pelajarannya. Zal bergegas ke kamar mandi mengguyur wajahnya. Ia kembali ke meja belajar dengan wajah dan fikiran yang tak lagi kalut seperti sebelumnya. Zal berusaha melupakan sejenak segala kegundahan hati yang sedang menyelimuti jiwanya.


Ia membuka lembar demi lembar materi-materi yang telah ia rangkum jauh hari sebelumnya. Ia harus mampu melewati ujian akhir sekolah dengan tanpa hambatan, meski dalam hatinya penuh dengan gejolak-gejolak yang tidak mampu lagi ia pendam. Sejenak kemudian rasa kantuk yang sangat tiba-tiba datang menyerang Zah. Dan akhirnya benteng pertahanan Zah lebur oleh serangan malaikat pengantar tidur.

I
Agin pagi semilir menerpa setiap makhluk yang ada di bumi Penciptannya. Pepohonan dan rerumputan seakan kompak bertasbih memujaNya. Embun masih terlihat menempel pada dedaunan. Suasana SMA Trunajaya 1 saat itu masih terlihat lengang. Dengan wajah berseri Ren memasuki halaman sekolah dengan sepeda pancalnya.

Seakan ia menunjukkan pada alam bahwa ia siap untuk menjalani UNAS terakhir. “Tuhan, berikan aku yang terbaik, amin”, doanya

saat ia membuka kembali buku catatannya.Ren tengah asyik dengan fikirannya, ia berusaha mengingat-ingat seluruh materi yang pernah diterima oleh otaknya. Ren yakin ia akan mampu menyeleseikan semua soal-soal itu dengan baik.

Kondisi seperti tak jauh beda dengan apa yang dialami Zal. Ia terlihat serius dengan soal-soal ujiannya. Zal menghela napas panjang yang terkesan dipaksakan. “Alhamdulillah, selesei juga,

ya Tuhan, aku pasrah dengan segala takdirMu untukku, amin”. Doa

Zal ketika selesei menjawab seluruh soal UNAS.

Siang itu seluruh siswa kelas III SMA 1 Trunajaya terlihat riang, seolah mereka telah terlepas dari segala beban berat dalam hidup. Selang beberapa jam kemudian, mereka berhambur keluar sekolah, pulang ketempat masing-masing.
“Bruak.., eh maaf saya tidak melihat, saya buru-buru!” Ungkap gadis ayu yang berjilbab putih itu. Semua barang bawaannya,

termasuk kue-kue kantin jatuh tercecer di lantai dan mengotori baju Zal.
“Apa kamu bilang, tidak melihat?, kamu tidak punya mata!” Zal

dengan kasar menghardik gadis itu.
“Maaf saya buru-buru tadi, saya tidak sengaja”.
“Eh, asal kamu tahu ya, baju putih ini lebih mahal dari pada penghasilan ibumu selama setahun!, jadi anak penjual kue di kantin gak usah berlagak dech!”
“Plag..!”. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Zal.
Tanpa basa-basi lagi gadis itu pergi dari dpan Zal setelah memungut semua kue-kue yang tercecer.
“Dasar, gadis miskin, orang miskin seperti kamu tidak pantas sekolah di tempoat ini. Kamu lebih pantas ngamen di jalanan sana, awas kau nanti!
Zal semakin gencar mencaci maki gadis itu. Ia tidak terima baju putihnya kotor gara-gara kecerobohan gadis yang telah menabraknya. Namun sebenarnya, kemarahan Zal itu hanya

dibuat-dibuat saja. Ia hanya tidak ingin wibawanya di hadapan teman-temannya jatuh.

Zal segera ke toilet. Ia merenung sebentar. Dalam relung hatinya, ia merasa menyesal bercampur terkejut. Baru kali ini ada gadis yang sama sekali tidak silau terhadap pesonanya.

Bahkan di hadapan teman-temannya ia berani menampar Zal.
“Siapa gadis itu sebenarnya?, bisik Zal dengan pelan, “Meski

dia hanya anak penjual kue di kantin ini, ia memiliki pribadi yang tidak di miliki oleh gadis-gadis yang selalu mengejar-ngejarku”. Zal sebenarnya masih penasaran , tapi hal itu cepat-cepat ditepisnya. Zal segera keluar toilet dan kmbali menuju kelasnya.

Setelah peristiwa itu, setiap kali Zal bertemu dengan gadis yang pernah menamparnya, ia selalu terdiam. Begitupun juga dengan gadis itu. Ia juga tidak pernah menyapa Zal. Ada sedikit keanehan dalam hati Zal. Setiap ia bertemu atau tidak sengaja matanya menatap sosok berjilbab itu, hatinya bergetar. Seakan ada sesuatu yang mengganjal. Tapi Zal tidak pernah bisa menebak

apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga suatu ketika, ia menemukan beberapa lembar kertas yang jatuh di depan pintu samping kelasnya. Dalam kertas itu tertera biodata dan segala prestasi gadis yang bernama Ren. Mata Zal terbelalak saat ia membaca tulisan-tulisan itu. Ia tidak pernah menyangka jika gadis anak penjual kue di kantin itu memiliki seabrek prestasi ekstrakurikuler. Bahkan Ren juga sempat beberapa kali menjuarai lomba fahmil Qur’an tingkat kabupaten.


Sejak itulah perasaan aneh dalam hati Zal semakin menjadi-jadi. Namun ia tidak ingin merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Zal malu dengan isi hatinya. Zal adalah anak orang terkaya di sekolah. Semua gadis di sekolah ini pasti mengenalnya dan mereka sangat memuja-muja ketampanan Zal.

Mereka berlomba untuk mendapatkan perhatian Zal.
“Zal…!”, tiba-tiba suara lembut itu menyapanya.
“eh…ya!’. Zal terkejut dan segera sadar dari lamunannya.
“Kamu…Ren!, eh ada apa?”, Zal sangat terrlihat gugup saat Ren menghampirinya.
“Eee, aku, aku mau minta aaf atas kejadian kemaren!”
“Tidak apa-apa, aku yang seharusnya meminta maaf Ren, aku sudah sangat keterlaluan”. Zal menimpali.
“Aku menyesal Ren atas kejadian satu tahun yang lalu. Sebagai manusia aku tidak punya hati”.
“Sudahlah Zal, sebenarnya aku sudah memaafkanmu sejak dulu”
“Lalu mengapa kau tidak pernah mau menyapaku?”, Tanya Zal ingin tahu
“Aku merasa tidak pantas jika harus menegur orang berkelas seperti dirimu. Lagian kamu sangat membenciku karena aku orang miskin”. Ren mengutarakan isi hatinya.
“Tapi aku tidak penah membecimu Ren, sama sekali tidak pernah!”
“Lalu mengapa kau juga tidak pernah menyapaku?”, balas Ren.

Zal tertunduk sebelum menjawab pertanyaan Ren. Ia terlihat bingung. Namun dalam hatinya Zal sangat ingin menyampaikan pada Ren.
“Ren, sebenarnya aku diam dan aku tidak menyapamu bukan karma aku membencimu”.
“Lalu karna apa?’
“Aku mencintaimu….”

Ren, terkejut mendengar ucapan Zal. Ia tidak mampu berucap sepatah katapun. Ren termangu seakan ia tidak menyatu dengan nyawanya.
“Kamu jangan mempermainkan aku Zal, sudah cukup kamu menghinaku saat itu”
“Sungguh, demi Tuhan Ren, sejak peristiwa itu, aku tidak membencimu, tapi justru menaruh hati padamu”.
“Tapi…”, Ren bingung.
Namun tiba-tiba tangan Zal secepat kilat telah menggenggam jemari Ren. Zal mengungkapkan sekali lagi isi hatinya pada Ren,

“Aku mencintaimu Ren!, aku ingin kau menemaniku menjalani sisa-sisa umurku!”
Ren meneteskan air mata. Dalam hatinya ia menjerit. Ren tidak berkata apapun pada Zal. Ia hanya tersenyum dengan diiringi deraian air mata….




Malang, 10 April 2020
Effaa El Ridlwan








2 Silahkan Beri Komentar di sini:

  1. Anonim

    terharu daku membaca ceritamu..

  1. anak sma

    izin bokmark... couse blum baca semuanya...