Engkau yang ku rindukan
Psikologi cinta,Perjalanan Hidup dan persahabatan kadang Menyedihkan,Menyakitkan Bahkan mengharukan untuk diceritakan. Semua makluk didunia mengenal cinta yang kadang kalanya membutakan mata hati dalam kehidupan ini
BERNAFAS DALAM LUMPUR (KELAM)
Siang ini matahari menari lesu, tak ada gairah dan hanya bermuram durja. Suara denting jam tahun enam puluhan yang bersandar tepat diatas bantal tidurku menjadikan suasana hati semakin berkelana jauh ke abad silam, seakan mampu melumat dan memporak-porandakan sang waktu. Ingin rasanya aku meloncat dan terbang bersama angan-anganku. Tapi kurcaci-kurcaci mungil yang menempel di kaca meja riasku melarang. Dia berkata dengan lirih dan seakan berbisik memberitahuku, “ tenang dan tarik nafas Fa…, badai ini pasti akan segera berlalu”.
Aku hanya mencibir dan menganggap itu hanya angin lalu saja, tapi saat itu diam-diam aku iseng juga mencoba apa yang disarankan kurcaci-kurcaci itu. Sesaat setelah kulepas nafas, rongga dada seakan kembali melebar. Nyawa dan ruhku kembali menempel pada wadag ayuku. Aku tersenyum kepada mereka, meski terkesan sangat terpaksa. Sambil bergumam terucap dari bibirku “ Andai aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kaya! Tapi ah, semuanya sudah suratan”.
Aku lirik jam tanganku yang baru menunjukkan pukul 13. 15 WIB. Aku pejamkan kedua mataku dan pelan mulai aku lafalkan kalimah-kalimah thoyyibah. Tanpa tersadar tiba-tiba aku sudah bercengkerama dengan bantal di alam mimpi.
“ Tit..tit….titt..” Hp Seimen keluaran pertama yang menjadi kebanggaanku berbunyi. Aku bergegas membuka tas yang kubeli dengan harga dua puluh delapan ribu rupiah beberapa bulan yang lalu. Kuletakkan Hp di balik jilbab yang kupakai.
“ Halloo, Asaalamua’alaikum…” Sapaku kepada orang di seberang sana.
“ Waa’laikum salam”. Terdengan lirih suara itu.
Aku berusaha menebak suara yang tidak asing di telingaku itu,
“ Niki emak nggeh?, wonten nopo Mak, kulo nembe kuliyah!”.
“ iya nduk, ini Emak, pinjem Hp pak De mu”, kata emak.
Aku sudah tidak punya hati jika emak mendadak telpon seperti ini. Pasti ada sesuatu yang penting sampai beliau menelponku. Maklum, emak jarang sekali menelpon kalau tidak ada sesuatu yang sangat penting.. Bukan karena tidak punya waktu sebagaimana mama dan papanya teman-temanku di kampus yang tidak pernah sempat menelpon anak-anaknya, tapi memang emak bapakku tidak punya Hp. Bagi keluargaku Hp yang seharga dua ratus ribu Rupiah itupun terlalu mahal, dan emak tidak sanggup untuk membelinya. Jalan satu-satunya jika ingin berkomunikasi dengan aku adalah meminjam Hp milik Pak De yang rumanhya lumayan jauh dari rumah emak..
“ Nduk kayak’e bulan ini emak tidak bisa ngirimi kamu uang. Emak sudah tidak berani hutang ke Pak De mu, emak tidak punya barang lagi untuk dipakai jaminan”.
“Memangnya kacang di sawah belum di panen mak?”
“Sudah nduk, tapi uangnya sudah diberikan ke pak De mu”
“ Emak punya hutang Pak De?”
“Iya, untuk membayar uang operasi adikmu dulu emak hutang pak De”
“Ngapunten mak, saya sudah menyusahkan emak”
Air mataku mengalir deras dan tak mampu kubendung saat mendengar penuturan emak. Belum sempat aku menyahut suara emak, beliu kembali berkata,
” Emak bingung Nduk!”
“Kenapa mak?”
“bulan ini juga BBKB sepeda motor yang digadaikan juga harus diambil”
Sejenak aku berfikir, apa yang harus kulakukan untuk sedikit membantu beban emak, Sepintas terbesit dibenakku untuk mundur dari perkuliyahan ini. Tapi segera terbayang kesuraman masa depanku jika itu sampai kulakukan.
“Bapak gimana mak?”
Emak tidak segera menjawab pertanyaanku. Ku dengar desah nafasnya yang teratur namun terasa begitu berat dan dalam.
“Bapakmu semakin hari semakin tidak karuan lakunya” Sambil terisak kalimat itu muncul dari bibir emak.
“Sebenarnya emak ingin menggadaikan sawah kita nduk!, tapi…”
“Kenapa emak? Sawah itu merupakan satu-satunya sumber pangan kita!”
“Sawah kita mau digusur nduk! Kata pak Lurah mau dijadikan pabrik semen.” Terang emak sambil dengan suara serak karena tangis yang berusaha ditahnnya tapi terlanjur kudengar.
Langit seakan berubah menjadi gelap gulita, angin sepoi-sepoi yang biasanya selalu menyapaku ketika aku berdiri di depan Lab Drama seperti saat ini, hilang mengikuti lenyapnya rasa dari hati. Terbayang ujian tengah semester yang hampir tiba, dan aku harus gigit jari karena tidak bisa mengikutinya. Aku belum membayar angsuran DPP yang ke tiga sebagai syarat mengikuti ujian tengah semester ini.
“ Ya udah Mak, tidak apa-apa. Saya berhenti kuliah saja. Kalau memang sudah tidak ada biaya lagi tidak usah dipaksakan, Saya akan cari kerja di sini”. Jawabku sambil berusaha tegar. Aku tidak kuasa jika mendengar tangisan emak. Beliau adalah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tanpa pamrih.
“ Maafkan emak ya nduk! Emak tidak mampu memberikan apa yang Ifa impikan untuk menjadi seorang sarjana”. Suara tangis emak semakin terdengar, meski berusaha disembunyikan dari pendengaranku.
“ Iya Mak, Ifa bisa ngerti kondisi. Sekarang saya hendak ke kelas dulu, emak jaga kesehatan, jangan terlalu difikirkan”.
“Gusti Allah akan memeberikan jalan keluar nduk!”
“Amin, Ifa ikhlas dengan segala takdir ini mak, insyaallah besok lusa Ifa pulang ke Tuban”. Jawabku dengan terbata-bata.
“Hati-hati ya nduk, Assalaamualaikum!”. Jawab emak sembari menutup telpon.
Setelah menjawab salam emak di seberang, aku beranjak untuk ke kamar mandi sebelum kembali mengikuti kuliah (Morfologi) yang diampu oleh pak Joko. Aku membersihkan sisa-sisa air mata dengan tissue kemudian aku mengguyurkan air kran ke wajahku yang mulai kelihatan layu.
Sedikit kurasakan ketenangan menghampiri hati setelah dinginnya air kota Malang menyapu wajahku. Bergegas aku ke kelas. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhir merasakan nikmatnya mengecap ilmu dikampus mewah seperti ini. Besok lusa aku harus meninggalkan kampus putih yang menjadi harapan terwujudnya impianku untuk menjadi seorang sarjana Bahasa Indonesia.
Ini adalah minggu terakhir aku ada kuliah, Sebab senin depan ujian semester sudah dimulai. Aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan pak Joko. Lama aku pandangi semua teman-teman di sekelilingku, mereka antusias mendengarkan kuliah. Sejenak aku tersadar ketika butiran bening telah mengalir di kedua pipiku. Pikiranku melayang membayangkan masa depanku yang semakin suram.
“Ah beginilah nasib, semua tidak bisa ditebak jalannya”.
batinku sambil keluar kelas bersama teman-temanku saat kuliah berakhir.
Andai saja bapakku masih seperti yang dulu, aku tidak akan berselimut nestapa terus menerus seperti ini. Dulu bapaklah yang bersemangat untuk menguliyahkanku di kampus putih yang berdiri megah di kota Malang. Bapak ingin aku menjadi seorang guru yang bermoral dan professional katanya. Tetapi setelah musibah menimpa adik laki-lakiku, bapak benar-benar sudah kehilangan semangat hidupnya bahkan juga kehilangan kesadarannya seagai kepala keluarga. Kerjanya hanya melamun dan termenung. Hanya sesekali pergi ke sawah untuk mengisi hari-harinya. Sedangkan emak menjadi buruh tani harian dengan upah tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah per hari.
Bapak dan emak sudah kehilangan semua harta bendanya, Sapi, kambing, sepeda motor semua amblas untuk biaya operasi adikku yang berumur empat tahun. Biaya untuk dua kali operasi usus buntu dalam waktu dua bulan berturut-turut bagi keluargaku bukan biaya yang sedikit. Mereka depresi berat karena nyawa anak laki-lakinya yang masih balita itu akhirnya tidak bisa diselamatkan.
Bapak trauma dengan musibah yang menimpa keluarganya. Bahkan orang-orang bilang bapak sudah tidak waras. Kini emak hanya mempunyai dua petak sawah yang lumayan luas. Dari hasil sawah inilah emak membiayai kuliahku. Tapi sebentar lagi sawah itu dan juga sawah-sawah penduduk miskin di desaku akan disulap menjadi sebuah pabrik semen yang besar oleh orang-orang yang berduit. Mereka sama sekali tidak peduli dengan nasib orang kecil seperti keluargaku. Dengan terpaksa emak menyerahkan sawah yang menjadi sumber pangan bagi keluarga kepada kaum kapitalis.
Aku menggeliat dan samar-samar kupandangai jam didinding yang menggantung di dinding kamar kosku. Kaget saat mata ini memandang jarum jam yang telah menunjukkan pukul 17.48 WIB.
“Oh Gusti, nyuwun ngapuro!”.Ucapku seketika.
Aku terlalu lama tidur hingga sholat ashar terlewatkan. Aku bangkit mengambil kerudung kemudian ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk sholat maghrib.
Seusai sholat aku buka Alqur’an kecil yang ada di dalam tas kuliahku. Ini adalah hadiah lomba fahmul qur’an saat aku masih aliyah kelas satu di pesantren. Aku pandangi ayat-demi ayat surat Ar-rahman dan aku lantunkan dengan suara penuh isak.
“Ya Allah, hamba mohon bantulah hamba dan keluarga hamba untuk keluar dari segala himpitan hidup ini. Izinkanlah hamba “ngluru ilmu” di kampus yang menjadi impian anak-anak kampung seperti hamba. Engkaulah Maha Kuasa dan Maha memberi rizqi”. Doaku di akhir tilawah yang aku panjatkan dengan penuh harap kepadaNya.
Kuseka air mata dan kulepas mukena putihku. Aku membeli kardus besar di warung depan kosku. Aku masukkan semua buku-buku literatur kuliah kedalamnya. Beberapa baju yang aku punya juga aku lipat dan aku taruh dalam ransel. Dalam waktu kurang dari 15 menit semua isi lemariku sudah bermigrasi kedalam kardus dan tas ransel. Sambil membersihkan lantai kamar, hatiku merintih “ Jika dengan berhenti kuliah, beban hidup keluargaku bisa berkurang, aku ikhlas Gusti, namun berilah hamba kekuatan untuk mampu berdiri tegak dalam amuk ombak kehidupan ini”.
“Aku akan mencari kerja Mak. Akan aku Bantu emak memikul beban hidup. Aku tak akan membiarkan tubuh rentamu memikul semua kepahitan yang ada. Besok aku akan pulang dan meninggalkan kota apel untuk selamanya. Aku datang untuk membantu emak membesarkan adik-adik yang masih memiliki harapan terang”. Gumamku dalam hati.
Embun pagi masih sejuk terasa dalam jiwa. Setelah beli dua potong roti, aku berpamitan kepada ibu dan bapak kosku.
“Mau kemana Fa?” Tanya bapak kosku denga suara yang kaget.
“Saya mau pulang ke Tuban Pak!”
“Lho, kok bawa kardus dan tas ransel? Apa sudah liburan?”
“Belum pak, saya mau pulang kampong dan…” Tidak kuasa aku jika harus mengatakannya kepada bapak kosku yang telah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri itui.
“Dan opo to nduk?” Bapak bertanya penuh selidik.
“Saya sudah tidak kuliyah lagi pak! Saya pulang ke Tuban dan tidak akan kembali lagi”
“Memangnya ada pa Fa?” Sahut ibu kosku yang keluar dati ruang belakang.
“Tidak apa-apa kok bu!”
“Uang kosmu juga masih ada untuk dua bulan kedepan Fa!”
“Iya bu, tidak apa-apa. Saya mohon pamit, mumpung masih pagi biasanya bis Malang jombang sudah ada”
“Hati-hati Fa! Salam baut emak bapakmu” kata bapak kosku sambil menyalami aku.
“Insyaallah buk” Jawabku singkat
“ Ibu saya mohon jangan beritahu teman-teman yang lain jika saya pulang ke Tuban dan tidak kembali lagi”
“Iya, nanti saya bilang kalau ibu tidak tahu saja jika mereka bertanya”
“Trimakasih bu! Saya pamit, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” Terdengar serempak suara mereka.
Aku keluar kos dengan langkah yang terasa sangat berat. Entah kenapa, seakan aku merasakan bahwa setelah ini aku tidak akan pernah lagi bisa melihat kota Malang ini. Tidak satu teman pun yang tahu akan kepulanganku. Hanya ibu dan bapak kosku saja yang tahu. Aku sengaja tidak memberitahu siapapun, baik teman-teman kelas maupun teman kos. Aku tidak mau mereka ikut merasakan semua kepedihan di dada ini. “Maafkan aku sahabat-sahabatku, selamat tinggal!”. Ucapku lrih.
Aku nikmati perjalan Malang-Jombang kali ini dengan air mata yang tak kunjung reda. Jalan masuk Songgoriti yang berkelok-kelok tak lagi aku cemaskan. Pikiranku melayang entah kemana. Hujan rintik-rintik menjadikan perjalanan pulang yang aku rasakan semakin kelabu. Jalanan juga berubah menjadi licin akibat terguyur hujan. Semua penumpang bus kelihatan tertidur pulas.
Terbayang di mataku, segala beban berat yang sedang dipikul emak. Aku memang masih memiliki bapak, tapi beliau sudah tidak bias lgi diandalkan. Jangankan mengurus kami, mengurus dirinya sendiri saja kadang butuh tangan emak. Air mataku berderai, Aku kecewa dengan keadaanku. Tapi aku segera insaf bahwa ini adalah suratan takdir dariNya. Cita-citaku untuk menjadi guru hilang sudah. Aku dengan hati yang tak tentu rasa berusaha untuk tetap mensyukuri semuanya.
Di tengah lamunanku tiba-tiba, Bruak…Bruak..! Kudengar suara benda keras seperti bertabarakan. Bus yang kutumpangi seakan bergetar hebat. Kepalaku terasa berat dan hidungku mencium bau anyir darah. Kurasakan pula ngilu di sekujur tubuh, dan entah rasa apa lagi, semua sendi-sendi tulangku seakan remuk. Rasa sakit yang tidak bisa didefinisikan benar-benar aku rasakan. Aku berusaha untuk membuka mata, tapi semua hanya gelap. Aku masih terus berusaha untuk menyadari apa yang terjadi. Tapi semua tetap gelap dan akhirnya semua benar-benar gelap gulita dan tak kurasakan lagi rasa sakit yang tadi kederita..
26 Maret 2010
Effaa El Ridlwan
Catatan:
Niki : ini
Emak : Ibu
Nggeh : Iya
wonten nopo Mak, kulo nembe kuliyah: Ada apa Bu? Saya sedang kuliyah!
Pak De :Paman
Guh Gusti nyuwun ngapura: Ya Allah Mohon ampunan
.