RSS Feed

Tenggelam Dalam kegalauan

Posted by @lee Read One Labels:

BERNAFAS DALAM LUMPUR (KELAM)

Siang ini matahari menari lesu, tak ada gairah dan hanya bermuram durja. Suara denting jam tahun enam puluhan yang bersandar tepat diatas bantal tidurku menjadikan suasana hati semakin berkelana jauh ke abad silam, seakan mampu melumat dan memporak-porandakan sang waktu. Ingin rasanya aku meloncat dan terbang bersama angan-anganku. Tapi kurcaci-kurcaci mungil yang menempel di kaca meja riasku melarang. Dia berkata dengan lirih dan seakan berbisik memberitahuku, “ tenang dan tarik nafas Fa…, badai ini pasti akan segera berlalu”.

Aku hanya mencibir dan menganggap itu hanya angin lalu saja, tapi saat itu diam-diam aku iseng juga mencoba apa yang disarankan kurcaci-kurcaci itu. Sesaat setelah kulepas nafas, rongga dada seakan kembali melebar. Nyawa dan ruhku kembali menempel pada wadag ayuku. Aku tersenyum kepada mereka, meski terkesan sangat terpaksa. Sambil bergumam terucap dari bibirku “ Andai aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kaya! Tapi ah, semuanya sudah suratan”.

Aku lirik jam tanganku yang baru menunjukkan pukul 13. 15 WIB. Aku pejamkan kedua mataku dan pelan mulai aku lafalkan kalimah-kalimah thoyyibah. Tanpa tersadar tiba-tiba aku sudah bercengkerama dengan bantal di alam mimpi.
“ Tit..tit….titt..” Hp Seimen keluaran pertama yang menjadi kebanggaanku berbunyi. Aku bergegas membuka tas yang kubeli dengan harga dua puluh delapan ribu rupiah beberapa bulan yang lalu. Kuletakkan Hp di balik jilbab yang kupakai.


“ Halloo, Asaalamua’alaikum…” Sapaku kepada orang di seberang sana.
“ Waa’laikum salam”. Terdengan lirih suara itu.
Aku berusaha menebak suara yang tidak asing di telingaku itu,
“ Niki emak nggeh?, wonten nopo Mak, kulo nembe kuliyah!”.
“ iya nduk, ini Emak, pinjem Hp pak De mu”, kata emak.
Aku sudah tidak punya hati jika emak mendadak telpon seperti ini. Pasti ada sesuatu yang penting sampai beliau menelponku. Maklum, emak jarang sekali menelpon kalau tidak ada sesuatu yang sangat penting.. Bukan karena tidak punya waktu sebagaimana mama dan papanya teman-temanku di kampus yang tidak pernah sempat menelpon anak-anaknya, tapi memang emak bapakku tidak punya Hp. Bagi keluargaku Hp yang seharga dua ratus ribu Rupiah itupun terlalu mahal, dan emak tidak sanggup untuk membelinya. Jalan satu-satunya jika ingin berkomunikasi dengan aku adalah meminjam Hp milik Pak De yang rumanhya lumayan jauh dari rumah emak..
“ Nduk kayak’e bulan ini emak tidak bisa ngirimi kamu uang. Emak sudah tidak berani hutang ke Pak De mu, emak tidak punya barang lagi untuk dipakai jaminan”.
“Memangnya kacang di sawah belum di panen mak?”
“Sudah nduk, tapi uangnya sudah diberikan ke pak De mu”
“ Emak punya hutang Pak De?”
“Iya, untuk membayar uang operasi adikmu dulu emak hutang pak De”
“Ngapunten mak, saya sudah menyusahkan emak”
Air mataku mengalir deras dan tak mampu kubendung saat mendengar penuturan emak. Belum sempat aku menyahut suara emak, beliu kembali berkata,
” Emak bingung Nduk!”
“Kenapa mak?”
“bulan ini juga BBKB sepeda motor yang digadaikan juga harus diambil”
Sejenak aku berfikir, apa yang harus kulakukan untuk sedikit membantu beban emak, Sepintas terbesit dibenakku untuk mundur dari perkuliyahan ini. Tapi segera terbayang kesuraman masa depanku jika itu sampai kulakukan.
“Bapak gimana mak?”
Emak tidak segera menjawab pertanyaanku. Ku dengar desah nafasnya yang teratur namun terasa begitu berat dan dalam.
“Bapakmu semakin hari semakin tidak karuan lakunya” Sambil terisak kalimat itu muncul dari bibir emak.
“Sebenarnya emak ingin menggadaikan sawah kita nduk!, tapi…”
“Kenapa emak? Sawah itu merupakan satu-satunya sumber pangan kita!”
“Sawah kita mau digusur nduk! Kata pak Lurah mau dijadikan pabrik semen.” Terang emak sambil dengan suara serak karena tangis yang berusaha ditahnnya tapi terlanjur kudengar.

Langit seakan berubah menjadi gelap gulita, angin sepoi-sepoi yang biasanya selalu menyapaku ketika aku berdiri di depan Lab Drama seperti saat ini, hilang mengikuti lenyapnya rasa dari hati. Terbayang ujian tengah semester yang hampir tiba, dan aku harus gigit jari karena tidak bisa mengikutinya. Aku belum membayar angsuran DPP yang ke tiga sebagai syarat mengikuti ujian tengah semester ini.
“ Ya udah Mak, tidak apa-apa. Saya berhenti kuliah saja. Kalau memang sudah tidak ada biaya lagi tidak usah dipaksakan, Saya akan cari kerja di sini”. Jawabku sambil berusaha tegar. Aku tidak kuasa jika mendengar tangisan emak. Beliau adalah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tanpa pamrih.
“ Maafkan emak ya nduk! Emak tidak mampu memberikan apa yang Ifa impikan untuk menjadi seorang sarjana”. Suara tangis emak semakin terdengar, meski berusaha disembunyikan dari pendengaranku.
“ Iya Mak, Ifa bisa ngerti kondisi. Sekarang saya hendak ke kelas dulu, emak jaga kesehatan, jangan terlalu difikirkan”.
“Gusti Allah akan memeberikan jalan keluar nduk!”
“Amin, Ifa ikhlas dengan segala takdir ini mak, insyaallah besok lusa Ifa pulang ke Tuban”. Jawabku dengan terbata-bata.
“Hati-hati ya nduk, Assalaamualaikum!”. Jawab emak sembari menutup telpon.
Setelah menjawab salam emak di seberang, aku beranjak untuk ke kamar mandi sebelum kembali mengikuti kuliah (Morfologi) yang diampu oleh pak Joko. Aku membersihkan sisa-sisa air mata dengan tissue kemudian aku mengguyurkan air kran ke wajahku yang mulai kelihatan layu.

Sedikit kurasakan ketenangan menghampiri hati setelah dinginnya air kota Malang menyapu wajahku. Bergegas aku ke kelas. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhir merasakan nikmatnya mengecap ilmu dikampus mewah seperti ini. Besok lusa aku harus meninggalkan kampus putih yang menjadi harapan terwujudnya impianku untuk menjadi seorang sarjana Bahasa Indonesia.

Ini adalah minggu terakhir aku ada kuliah, Sebab senin depan ujian semester sudah dimulai. Aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan pak Joko. Lama aku pandangi semua teman-teman di sekelilingku, mereka antusias mendengarkan kuliah. Sejenak aku tersadar ketika butiran bening telah mengalir di kedua pipiku. Pikiranku melayang membayangkan masa depanku yang semakin suram.

“Ah beginilah nasib, semua tidak bisa ditebak jalannya”.
batinku sambil keluar kelas bersama teman-temanku saat kuliah berakhir.
Andai saja bapakku masih seperti yang dulu, aku tidak akan berselimut nestapa terus menerus seperti ini. Dulu bapaklah yang bersemangat untuk menguliyahkanku di kampus putih yang berdiri megah di kota Malang. Bapak ingin aku menjadi seorang guru yang bermoral dan professional katanya. Tetapi setelah musibah menimpa adik laki-lakiku, bapak benar-benar sudah kehilangan semangat hidupnya bahkan juga kehilangan kesadarannya seagai kepala keluarga. Kerjanya hanya melamun dan termenung. Hanya sesekali pergi ke sawah untuk mengisi hari-harinya. Sedangkan emak menjadi buruh tani harian dengan upah tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah per hari.
Bapak dan emak sudah kehilangan semua harta bendanya, Sapi, kambing, sepeda motor semua amblas untuk biaya operasi adikku yang berumur empat tahun. Biaya untuk dua kali operasi usus buntu dalam waktu dua bulan berturut-turut bagi keluargaku bukan biaya yang sedikit. Mereka depresi berat karena nyawa anak laki-lakinya yang masih balita itu akhirnya tidak bisa diselamatkan.

Bapak trauma dengan musibah yang menimpa keluarganya. Bahkan orang-orang bilang bapak sudah tidak waras. Kini emak hanya mempunyai dua petak sawah yang lumayan luas. Dari hasil sawah inilah emak membiayai kuliahku. Tapi sebentar lagi sawah itu dan juga sawah-sawah penduduk miskin di desaku akan disulap menjadi sebuah pabrik semen yang besar oleh orang-orang yang berduit. Mereka sama sekali tidak peduli dengan nasib orang kecil seperti keluargaku. Dengan terpaksa emak menyerahkan sawah yang menjadi sumber pangan bagi keluarga kepada kaum kapitalis.
Aku menggeliat dan samar-samar kupandangai jam didinding yang menggantung di dinding kamar kosku. Kaget saat mata ini memandang jarum jam yang telah menunjukkan pukul 17.48 WIB.
“Oh Gusti, nyuwun ngapuro!”.Ucapku seketika.
Aku terlalu lama tidur hingga sholat ashar terlewatkan. Aku bangkit mengambil kerudung kemudian ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk sholat maghrib.
Seusai sholat aku buka Alqur’an kecil yang ada di dalam tas kuliahku. Ini adalah hadiah lomba fahmul qur’an saat aku masih aliyah kelas satu di pesantren. Aku pandangi ayat-demi ayat surat Ar-rahman dan aku lantunkan dengan suara penuh isak.
“Ya Allah, hamba mohon bantulah hamba dan keluarga hamba untuk keluar dari segala himpitan hidup ini. Izinkanlah hamba “ngluru ilmu” di kampus yang menjadi impian anak-anak kampung seperti hamba. Engkaulah Maha Kuasa dan Maha memberi rizqi”. Doaku di akhir tilawah yang aku panjatkan dengan penuh harap kepadaNya.
Kuseka air mata dan kulepas mukena putihku. Aku membeli kardus besar di warung depan kosku. Aku masukkan semua buku-buku literatur kuliah kedalamnya. Beberapa baju yang aku punya juga aku lipat dan aku taruh dalam ransel. Dalam waktu kurang dari 15 menit semua isi lemariku sudah bermigrasi kedalam kardus dan tas ransel. Sambil membersihkan lantai kamar, hatiku merintih “ Jika dengan berhenti kuliah, beban hidup keluargaku bisa berkurang, aku ikhlas Gusti, namun berilah hamba kekuatan untuk mampu berdiri tegak dalam amuk ombak kehidupan ini”.

“Aku akan mencari kerja Mak. Akan aku Bantu emak memikul beban hidup. Aku tak akan membiarkan tubuh rentamu memikul semua kepahitan yang ada. Besok aku akan pulang dan meninggalkan kota apel untuk selamanya. Aku datang untuk membantu emak membesarkan adik-adik yang masih memiliki harapan terang”. Gumamku dalam hati.
Embun pagi masih sejuk terasa dalam jiwa. Setelah beli dua potong roti, aku berpamitan kepada ibu dan bapak kosku.
“Mau kemana Fa?” Tanya bapak kosku denga suara yang kaget.
“Saya mau pulang ke Tuban Pak!”
“Lho, kok bawa kardus dan tas ransel? Apa sudah liburan?”
“Belum pak, saya mau pulang kampong dan…” Tidak kuasa aku jika harus mengatakannya kepada bapak kosku yang telah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri itui.
“Dan opo to nduk?” Bapak bertanya penuh selidik.
“Saya sudah tidak kuliyah lagi pak! Saya pulang ke Tuban dan tidak akan kembali lagi”
“Memangnya ada pa Fa?” Sahut ibu kosku yang keluar dati ruang belakang.
“Tidak apa-apa kok bu!”
“Uang kosmu juga masih ada untuk dua bulan kedepan Fa!”
“Iya bu, tidak apa-apa. Saya mohon pamit, mumpung masih pagi biasanya bis Malang jombang sudah ada”
“Hati-hati Fa! Salam baut emak bapakmu” kata bapak kosku sambil menyalami aku.
“Insyaallah buk” Jawabku singkat
“ Ibu saya mohon jangan beritahu teman-teman yang lain jika saya pulang ke Tuban dan tidak kembali lagi”
“Iya, nanti saya bilang kalau ibu tidak tahu saja jika mereka bertanya”
“Trimakasih bu! Saya pamit, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” Terdengar serempak suara mereka.
Aku keluar kos dengan langkah yang terasa sangat berat. Entah kenapa, seakan aku merasakan bahwa setelah ini aku tidak akan pernah lagi bisa melihat kota Malang ini. Tidak satu teman pun yang tahu akan kepulanganku. Hanya ibu dan bapak kosku saja yang tahu. Aku sengaja tidak memberitahu siapapun, baik teman-teman kelas maupun teman kos. Aku tidak mau mereka ikut merasakan semua kepedihan di dada ini. “Maafkan aku sahabat-sahabatku, selamat tinggal!”. Ucapku lrih.

Aku nikmati perjalan Malang-Jombang kali ini dengan air mata yang tak kunjung reda. Jalan masuk Songgoriti yang berkelok-kelok tak lagi aku cemaskan. Pikiranku melayang entah kemana. Hujan rintik-rintik menjadikan perjalanan pulang yang aku rasakan semakin kelabu. Jalanan juga berubah menjadi licin akibat terguyur hujan. Semua penumpang bus kelihatan tertidur pulas.

Terbayang di mataku, segala beban berat yang sedang dipikul emak. Aku memang masih memiliki bapak, tapi beliau sudah tidak bias lgi diandalkan. Jangankan mengurus kami, mengurus dirinya sendiri saja kadang butuh tangan emak. Air mataku berderai, Aku kecewa dengan keadaanku. Tapi aku segera insaf bahwa ini adalah suratan takdir dariNya. Cita-citaku untuk menjadi guru hilang sudah. Aku dengan hati yang tak tentu rasa berusaha untuk tetap mensyukuri semuanya.

Di tengah lamunanku tiba-tiba, Bruak…Bruak..! Kudengar suara benda keras seperti bertabarakan. Bus yang kutumpangi seakan bergetar hebat. Kepalaku terasa berat dan hidungku mencium bau anyir darah. Kurasakan pula ngilu di sekujur tubuh, dan entah rasa apa lagi, semua sendi-sendi tulangku seakan remuk. Rasa sakit yang tidak bisa didefinisikan benar-benar aku rasakan. Aku berusaha untuk membuka mata, tapi semua hanya gelap. Aku masih terus berusaha untuk menyadari apa yang terjadi. Tapi semua tetap gelap dan akhirnya semua benar-benar gelap gulita dan tak kurasakan lagi rasa sakit yang tadi kederita..

26 Maret 2010
Effaa El Ridlwan
Catatan:
Niki : ini
Emak : Ibu
Nggeh : Iya
wonten nopo Mak, kulo nembe kuliyah: Ada apa Bu? Saya sedang kuliyah!
Pak De :Paman
Guh Gusti nyuwun ngapura: Ya Allah Mohon ampunan
.

Panjatan Do'a Harapan

Posted by @lee Read One Labels:

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji


Sepuluh tahun silam bersama Mama……………..
“Juli 2000 silam, perempuan datang tawar seuntai persahabatan. Pelangi tawarkan sejuta keindahannya , hidup yang kelam ,merona bak kembang gula berwarna…berharap langit menerimanya, langit masih juga membisu.. laksana Dewi Kwan Im sedang bertapa, tak ada kata sepakat, Bagai badai dalam gelas retak dan enggan berpaut, yang kupandang setiap tahun selalu tergantikan.

Kata buku, Hati dan perasaan adalah anugerah terindah dari Allah, keduanya jujur menilai manusia apa adanya, ia tidak bisa dipaksakan juga tidak bisa dihadirkan semau kita. Namun kini… entah apa yang telah terjadi, Kehadiranmu mampu menggetarkan dinding hatiku, walau hanya sepintas jejak tertinggal dalam lumpur terkubur. Kau mampu memporak-porandakan tatanan hati yang tersusun rapi..

Aku tak berharap banyak, hanya sesekali aku mengintip dari tirai kamarku, bahkan mata malaikatpun tak mampu menembus kegelisahan hatiku… Namun kini purnalah sudah, kini aku tak bisa berbohong…..

Ya Allah Ya Karim…
sungguh Engkau jadikan aku manusia yang punya perasaan, namun terkadang aku tak sanggup dan tak pantas menerimanya,,, tapi ku juga sangat membutuhkannya, Ya Allah Ya Karim…gadis kecil yang aku kagumi kini telah kembali…
Sungguh aku bukan malaikat, aku marah, tapi hatiku menangis,…mengapa seolah kau hadir mengacaukan jalanku ……?”

Mama….
Tak ada sedikitpun alun kah di hati kecil Mama….untuk menyambut uluran tangan kecil yang lemah ini… Nanda kangen Ma…, nanda ingin berselimut sayu bening mata Mama….
Terjejal, pengap, pengen muntah dengan segala asa dan harapan ini untuk mendekap Mama…
Tapi….
Benarkah hanya karna layang-layang bertanduk dan berpeci itu, Mama melupakan setitik embun di atas muara cinta yang tetatih……????

18 Maret 2010
Effaa El Ridlwan
23:14

Sembah sujud Nanda buat Mama, Selamanya Nanda akan selalu sayang Mama..! Semoga calon professor kecil dapat segera datang dengan penuh kesempurnaan. Amin….


DO'AKU BUAT ORANG - ORANG TERCINTA

Bernafas Dalam Lumpur
Saat kurajut jalan dzikir hanya untuk-Mu, tetesan bening membasahi belahan kedua pipiku,hening…. Dan bisu..
Ya Allah ,,seandainya putus asa bukan suatu dosa, ingin rasa hati menenggelamkan hati di sana, biar tak ada ratap,cemburu, gerutu dan kecewa,,
Subhanallah.. sesungguhnya aku sudah malas untuk hanya sekedar meratap dan bicara, hati ini terlalu sarat dengan kekecewaan, dan kegundahan yang tak berujung kesudahan…Mmmmhh.. kuambil nafasku dalam-dalam untuk menenangkan perasaan yang tak seharusnya ada dalam benakku. Ya Allah Ya Karim… tak pantas daku meratap kepada-Mu , seakan tak tahu berterima kasih…
Ya Allah… maafkan aku selama ini, jika aku tak bijak menilai cinta-Mu kepadaku. Seandainya waktu bisa diputar kembali, ingin rasa hati lari dari kenyataan hidup yang selalu membelenggu hati, seandainya aku bisa meminta, seandainya semua jalan selalu mulus, ingin rasa hati meminta pada-Mu…tapi, mungkinkah?
Aku adalah bagian hamba-Mu yang penuh dengan noda laksana pasir di lautan.. Aku adalah bagian dari hamba-Mu yang selalu tak menyebut nama-Mu..
Ya Allah jangan tinggalkan aku walau sesaat…
please,, Gusti..
karena hanya dengan mengingat nikmat-nikmat-Mu, daku bisa bertahan melewati jurang penderitaan yang selalu ada di depanku…
Ya Allah,, atas nama cinta-Mu kepadaku dan atas nama cintaku kepada-Mu,,daku ikhlas atas semua yang terjadi….. daku tidak berharap surga-Mu, daku hanya berharap cinta-Mu, belailah daku dalam dekapan lembut-Mu, Sambutlah daku dengan senyum damai-Mu,, walau daku tahu, Suara detik jam kuno membuyarkan lamunankoe, hmmm…
sejenak koe berfikir, merenung, sesungguhnya, inikah hidup ? inikah hidup yang dibanggakan orang selama ini ? manusia-manusia yang tak punya hati, tak bermata, tak bertelinga, tak berkaki, tapi bersayap, punya sepuluh topeng, wajah pagi dan siang sore apalagi selalu berwarna, bagai sosok dasamuka dalam pewayangan, berhati kejam, bengis selalu sadis pada siapapun.
Subhanallah…. Dimanakah hati-hati suci mereka bersembunyi ? Ya Allah Ya Karim, dimana sesungguhnya rasa malu itu bersembunyi ? Dimanakah sesungguhnya kasih sayang mereka bersembunyi ?
24 Maret 2010

“ Mama masih ingat saat kita bersama, duduk termenung di bawah jam dinding kuno itu?. Saat ini Nanda melakukan hal yang sama Mama…
Nanda duduk dengan berkawan peri-peri kecil yang menari di atas telaga rindu!
Mama, meski Mama tlah berikan pangeran berkuda putih yang sempurna yang selalu buat Nanda senyum, tapi tetap ada yang tertinggal rasanya… Mama lupa dengan perjanjian Qt…..





Curhat SahabatKu

Posted by @lee Read One Labels:

REN.....

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tidak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadiakannya tiada”
(Sapardi Djoko Damono).

Butiran bening itu mengalir dari kedua matanya yang sayu tatkala ia menorehkan tinta untuk menulis puisi Sapardi Djoko

Damono. Zal hanya mampu menuliskan kenangan-kenangan pahit yang terjadi dalam hidupnya pada sebuah buku kecil yang ia anggap sebagai sahabat. Ia melakukan hal tersebut tidak lain hanyalah sebagai luapan isi hatinya yang sedang carut marut . Ia merasa

tidak pantas sebagai seorang laki-laki jika harus menceritakan segala isi hatinya kepada sahabat-sahabatnya di kelas.

Puisi Sapardi Djoko Damono telah menjelma sebagai teman setia bagi Zal. Untaian kata-kata penuh perasaan itu tidak pernah sekalipun luput dari ingatannya saat Zal berhadapan dengan buku mungil itu. “Mengapa kau tak juga mengerti Ton!, Aku diam bukan karna aku membencimu, aku hanya malu untuk mengakui kalau kau telah membuatku jatuh hati!”.

“Sampai kapan Tuhan, sampai kapan aku harus memendam perasaan yang tiap detik selalu bergejolak menghempas kesabaranku ini!.

Sederet kalimat telah terukir dengan tinta yang ada dalam genggaman Zal.

Siang itu matahari begitu teriknya. Asap kendaraan, debu, suara mesin-mesin yang memekakkan telinga bercampur, melebur dan membaur. Suasana hati Zal semakin kacau. Soal-soal UNAS yang ada dihadapannya tidak juga ia sentuh. Sesekali ia menatap sesosok tubuh yang duduk di samping bangku ujiannya, kemudian Zah menghela napas panjang. “Ren, adakah sedikit saja bayanganku dalam anganmu?, Seolah Zal bertanya pada dirinya sendiri. Sedangkan sosok gadis yang ia maksud sedikitpun tak bergeming.

Bel berdering tiga kali, pertanda waktu untuk menjawab soal-soal UNAS telah usai. Zal sengaja tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Ia menunggu Rena membereskan segala peralatan ujiannya. “Ren, kamu…! Tiba-tiba suara Zal terpotong.

“Zal, tumben kamu sudi menegurku?. Ren seolah tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Dengan keringat dingin dan wajah beku, Zal berusaha melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti. “Aku mau menanyakan sesuatu, tapi aku…!”

“Kenapa? Aku akan sangat senang jika aku bisa menjawab pertanyaan dari orang terhebat di sekolah ini”. Ren terlihat gugup saat melontarkan kalimat tersebut.
“Kamu sangat membenciku Ren?”
“Bukannya kamu yang selama ini sangat anti padaku?”. Balas Ren dengan dingin.
“Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, aku…
“Sudahlah Zal, aku tidak ingin teman-temanmu nanti menjadikan aku bahan ejekan dan tertawaan lagi!. Sudah cukup Zal, peristiwa saat kita kelas dua dulu telah mampu menjadikan kamu dan teman-temanmu melayang diatas tangis batinku!. Rena sedikit emosi.
“Sebenarnya aku….
“Sudahlah Zal, aku mau pulang. Jika tujuanmu menegurku kali ini hanya untuk menyakitiku lagi, maaf, simpan saja.”
“Ren., aku mohon dengarkan aku! Ren…

Dengan wajah dingin Ren meninggalkan Zal yang masih berdiri sambil memanggil namanya. Tanpa disadarinya, air mata yang dari tadi berusaha ia bendung akhirnya berjatuhan membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
“Maafkan aku Zal, aku tidak ingin kau menyakiti hatiku lagi.

Aku memang tidak secerdas kamu, aku memang bukan anak orang berkelas dan bukan anak orang terhormat seperti teman-temanmu”,

Ren bergumam lirih sambil mengeluarkan sepeda pancalnya dari tempat penitipan sepeda di sekolahnya. “Tapi meski aku miskin, aku masih punya hati, kau dan teman-temanmu tidak berhak mencemooh dan menghina aku serta orang tuaku”, Ren semakin terisak saat ia mulai menaiki sepedanya.

Dengan perasaan yang tidak menentu, akhirnya Zal meninggalkan ruang ujiannya. “Tuhan, tolong beri aku kesempatan untuk mendapatkan maaf dari orang yang pernah aku dzolimi”.
“Maafkan aku Ren, semoga kau sudi memberikan maafmu untukku”.

“Aku tidak ingin meninggalkan jejak-jejak hitam dalam kehidupanku”.

Aku lelah bertanya kenapa, dan tidak punya kekuatan lebih untuk menduga mengapa. Aku merasa semua darimu penuh rahasia, begitu jauh, begitu tak terjangkau.
Ada kalanya hangat hatimu membuatku nyaman, dan sinar matamu mampu timbulkan rona di jiwaku, tapi lalu kau menarik dirimu, tapi lalu kau menjauh dariku.Aku telah bertanya mengapa,
Mengapa aku tidak bias mengerti logika dalam kepalaku.
Mengapa sulit bagiku untuk meraba hatimu Karena kini jelas untukku, tidak ada logika dalam cintaku padamu Tidak ada ruang lagi untuk mundur, aku telah memahami seutuhnya tentang hatiku Dan jika kau belum mengerti apa yang hatiku sampaikan, maka apa yang harus aku lakukan dengan cintaku...

Zal kembali menggoreskan tinta hitamnya dalam buku mungil yang telah menjadi sahabat sejatinya. Ia menumpahkan segala gejolak hati yang membuncah lewat puisi-puisi. Zal sangat senang dengan segala bentuk tulisan-tulisan mengenai perasaan. Denting jam diruang tamu telah terdengar sepuluh kali. Ia terkesiap. Tidak terasa ia telah duduk selama empat jam. Ia baru tersadar jika besok adalah UNAS terakhir. Sama sekali ia belum membuka buku-buku pelajarannya. Zal bergegas ke kamar mandi mengguyur wajahnya. Ia kembali ke meja belajar dengan wajah dan fikiran yang tak lagi kalut seperti sebelumnya. Zal berusaha melupakan sejenak segala kegundahan hati yang sedang menyelimuti jiwanya.


Ia membuka lembar demi lembar materi-materi yang telah ia rangkum jauh hari sebelumnya. Ia harus mampu melewati ujian akhir sekolah dengan tanpa hambatan, meski dalam hatinya penuh dengan gejolak-gejolak yang tidak mampu lagi ia pendam. Sejenak kemudian rasa kantuk yang sangat tiba-tiba datang menyerang Zah. Dan akhirnya benteng pertahanan Zah lebur oleh serangan malaikat pengantar tidur.

I
Agin pagi semilir menerpa setiap makhluk yang ada di bumi Penciptannya. Pepohonan dan rerumputan seakan kompak bertasbih memujaNya. Embun masih terlihat menempel pada dedaunan. Suasana SMA Trunajaya 1 saat itu masih terlihat lengang. Dengan wajah berseri Ren memasuki halaman sekolah dengan sepeda pancalnya.

Seakan ia menunjukkan pada alam bahwa ia siap untuk menjalani UNAS terakhir. “Tuhan, berikan aku yang terbaik, amin”, doanya

saat ia membuka kembali buku catatannya.Ren tengah asyik dengan fikirannya, ia berusaha mengingat-ingat seluruh materi yang pernah diterima oleh otaknya. Ren yakin ia akan mampu menyeleseikan semua soal-soal itu dengan baik.

Kondisi seperti tak jauh beda dengan apa yang dialami Zal. Ia terlihat serius dengan soal-soal ujiannya. Zal menghela napas panjang yang terkesan dipaksakan. “Alhamdulillah, selesei juga,

ya Tuhan, aku pasrah dengan segala takdirMu untukku, amin”. Doa

Zal ketika selesei menjawab seluruh soal UNAS.

Siang itu seluruh siswa kelas III SMA 1 Trunajaya terlihat riang, seolah mereka telah terlepas dari segala beban berat dalam hidup. Selang beberapa jam kemudian, mereka berhambur keluar sekolah, pulang ketempat masing-masing.
“Bruak.., eh maaf saya tidak melihat, saya buru-buru!” Ungkap gadis ayu yang berjilbab putih itu. Semua barang bawaannya,

termasuk kue-kue kantin jatuh tercecer di lantai dan mengotori baju Zal.
“Apa kamu bilang, tidak melihat?, kamu tidak punya mata!” Zal

dengan kasar menghardik gadis itu.
“Maaf saya buru-buru tadi, saya tidak sengaja”.
“Eh, asal kamu tahu ya, baju putih ini lebih mahal dari pada penghasilan ibumu selama setahun!, jadi anak penjual kue di kantin gak usah berlagak dech!”
“Plag..!”. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Zal.
Tanpa basa-basi lagi gadis itu pergi dari dpan Zal setelah memungut semua kue-kue yang tercecer.
“Dasar, gadis miskin, orang miskin seperti kamu tidak pantas sekolah di tempoat ini. Kamu lebih pantas ngamen di jalanan sana, awas kau nanti!
Zal semakin gencar mencaci maki gadis itu. Ia tidak terima baju putihnya kotor gara-gara kecerobohan gadis yang telah menabraknya. Namun sebenarnya, kemarahan Zal itu hanya

dibuat-dibuat saja. Ia hanya tidak ingin wibawanya di hadapan teman-temannya jatuh.

Zal segera ke toilet. Ia merenung sebentar. Dalam relung hatinya, ia merasa menyesal bercampur terkejut. Baru kali ini ada gadis yang sama sekali tidak silau terhadap pesonanya.

Bahkan di hadapan teman-temannya ia berani menampar Zal.
“Siapa gadis itu sebenarnya?, bisik Zal dengan pelan, “Meski

dia hanya anak penjual kue di kantin ini, ia memiliki pribadi yang tidak di miliki oleh gadis-gadis yang selalu mengejar-ngejarku”. Zal sebenarnya masih penasaran , tapi hal itu cepat-cepat ditepisnya. Zal segera keluar toilet dan kmbali menuju kelasnya.

Setelah peristiwa itu, setiap kali Zal bertemu dengan gadis yang pernah menamparnya, ia selalu terdiam. Begitupun juga dengan gadis itu. Ia juga tidak pernah menyapa Zal. Ada sedikit keanehan dalam hati Zal. Setiap ia bertemu atau tidak sengaja matanya menatap sosok berjilbab itu, hatinya bergetar. Seakan ada sesuatu yang mengganjal. Tapi Zal tidak pernah bisa menebak

apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga suatu ketika, ia menemukan beberapa lembar kertas yang jatuh di depan pintu samping kelasnya. Dalam kertas itu tertera biodata dan segala prestasi gadis yang bernama Ren. Mata Zal terbelalak saat ia membaca tulisan-tulisan itu. Ia tidak pernah menyangka jika gadis anak penjual kue di kantin itu memiliki seabrek prestasi ekstrakurikuler. Bahkan Ren juga sempat beberapa kali menjuarai lomba fahmil Qur’an tingkat kabupaten.


Sejak itulah perasaan aneh dalam hati Zal semakin menjadi-jadi. Namun ia tidak ingin merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Zal malu dengan isi hatinya. Zal adalah anak orang terkaya di sekolah. Semua gadis di sekolah ini pasti mengenalnya dan mereka sangat memuja-muja ketampanan Zal.

Mereka berlomba untuk mendapatkan perhatian Zal.
“Zal…!”, tiba-tiba suara lembut itu menyapanya.
“eh…ya!’. Zal terkejut dan segera sadar dari lamunannya.
“Kamu…Ren!, eh ada apa?”, Zal sangat terrlihat gugup saat Ren menghampirinya.
“Eee, aku, aku mau minta aaf atas kejadian kemaren!”
“Tidak apa-apa, aku yang seharusnya meminta maaf Ren, aku sudah sangat keterlaluan”. Zal menimpali.
“Aku menyesal Ren atas kejadian satu tahun yang lalu. Sebagai manusia aku tidak punya hati”.
“Sudahlah Zal, sebenarnya aku sudah memaafkanmu sejak dulu”
“Lalu mengapa kau tidak pernah mau menyapaku?”, Tanya Zal ingin tahu
“Aku merasa tidak pantas jika harus menegur orang berkelas seperti dirimu. Lagian kamu sangat membenciku karena aku orang miskin”. Ren mengutarakan isi hatinya.
“Tapi aku tidak penah membecimu Ren, sama sekali tidak pernah!”
“Lalu mengapa kau juga tidak pernah menyapaku?”, balas Ren.

Zal tertunduk sebelum menjawab pertanyaan Ren. Ia terlihat bingung. Namun dalam hatinya Zal sangat ingin menyampaikan pada Ren.
“Ren, sebenarnya aku diam dan aku tidak menyapamu bukan karma aku membencimu”.
“Lalu karna apa?’
“Aku mencintaimu….”

Ren, terkejut mendengar ucapan Zal. Ia tidak mampu berucap sepatah katapun. Ren termangu seakan ia tidak menyatu dengan nyawanya.
“Kamu jangan mempermainkan aku Zal, sudah cukup kamu menghinaku saat itu”
“Sungguh, demi Tuhan Ren, sejak peristiwa itu, aku tidak membencimu, tapi justru menaruh hati padamu”.
“Tapi…”, Ren bingung.
Namun tiba-tiba tangan Zal secepat kilat telah menggenggam jemari Ren. Zal mengungkapkan sekali lagi isi hatinya pada Ren,

“Aku mencintaimu Ren!, aku ingin kau menemaniku menjalani sisa-sisa umurku!”
Ren meneteskan air mata. Dalam hatinya ia menjerit. Ren tidak berkata apapun pada Zal. Ia hanya tersenyum dengan diiringi deraian air mata….




Malang, 10 April 2020
Effaa El Ridlwan








Surat Cinta Buat Kakak

Posted by @lee Read One Labels:

Risalah cinta Teruntuk Calon Abi dari jundi dan jundiyah terkasihku kelak….

Wahai calon imam hidupku….
Kepadamu ku kirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni syurga firdausNya. Salam yang harumnya melebihi wangi kesturi , serta sejuknya melebihi embun pagi. Ku kirimkan pula salam hangat sehangat sinar mentari diwaktu dhuha,salam suci,sesuci air telaga kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segalahaldan peristiwa.
Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata demi kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada dalam relung jiwa.
Wahaihamba Allah!
Jika engkau berkenan dan Allah mengizinkan, aku ingin menjadi pendampingmu dalam mengarungi samudera juang dan jalanMu dalam mengarungi bahtera hidup.
Aku ingin menjadi ibu dari jundi dan
jundiyahmu yang kelak akan terlahir dari rahimku sebagai cahaya benderang ditengah kegelapan zaman.
Wahai manusia sholeh…
Sesungguhnya aku merasa tiada pantas sedikitpun menuliskan ini semua. Tapi rasa hormat dan kasih serta cintaku padamu yang tiap detik senantiasa bertambah besar dan terpatri dalam dada, terus memaksa. Dan aku tiada kuasa untuk menahannya. Aku sadar bahwa aku hanya gadis dhoif dan tak pantas bermimpi untuk bersanding dengan engkau…
Wahai tentara Allah…
Apakah aku salah menulis semua ini? Segala yang saat ini menderu di dalam jiwa, rasa cinta yang begitu menghujam dalam relung hati.
Perlu engkau tahu wahai orang yang lembut hati…! Sudah lama aku menanggung nestapa, hatiku selalu kelam dengan dengan penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang yang mampu biaskan segala asa kelabu dalam perjalananku.
Wahai Cahayaku…
Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada seorang hamba Allah sekuat rasa cintaku pada abdiNya sepertimu, Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengna kenistaan kata-kataku yang tertoreh dalam lembaran ini . Jika ada yang bernuansa dosa, maafkanlah aku. Aku sudah siap jika harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku menjadi Laila yang mati karena kobaran api cintanya. Namun sungguh aku tak rela jika engkau menajdi Majnun, sebab engkau adalah cahaya penerang gelapnya hati.
Doakanlah moga Allah mengampuniku dan maafkanlah khilafku.


Al-muhibbah : Effaa El Ridlwan